Senin, 19 Januari 2009

BAITUT DAKWAH

Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, Khalifah II Umar bin Khattab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.

"Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita."
"Bu, saya tak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita."
"Siapa sih sepagi ini mengintai kita?" sang ibu balik bertanya.
"Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita."

Khalifah segera kembali dengan satu tekad yang esok dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk puteranya, 'Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu : Umar bin Abdul Aziz, khalifah kelima.

Tuan & Nyoya Da'wah yang saya hormati,
Tentu saja istilah baitu da'wah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktifitas belajar mengajar seperti laiknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun bertarget jelas.

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. "Keterlambatan" itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukan kerja diluar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreatifitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

Banyak orang merasa telah menjadi suami, istri atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suami, atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan, isu sentral "pewarisan nilai-nilai kehidupan" dalam kehidupan mereka tak soal. Buktinya, tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa ada anak manusia bertingkahlaku babi, serigala, harimau, atau musang.

Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghafal seluruh program yang dijejalkan bapak-ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru. Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islami yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.

Misteri Berkah

Saat ini ada beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh "intuisi" kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hafal 1000 Alfiah Ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (Nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesama mahasiswa di sebuah Universitas terkemuka di negara Arab. Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak beasiswa ke sebuah universitas unggulan di Eropa.
Lainnya bisa melakoni dua kuliah yang "pelik" : bahasa Arab di sebuah kolese paling representatif sementara siangnya mengambil jurusan Ekonomi. Kemenakannya hafal Al-Qur'an 30 juz menjelang akhir semester delapan di institut teknologi paling bergengsi di negeri ini. Kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.

Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal yang spesial dari kelakuannya, muncul jawaban yang signifikan : Kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti yang sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma'ruf nahi mungkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh. Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, "Barangsiapa meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, maka anak, isteri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya."

Ternyata memang, keikhlasan seseorang atau keluarga kerap menembus sampai beberapa generasi sesudahnya. Boleh jadi seseorang merasa telah mejadi bagian dari da'wah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da'i yang dirawatnya. Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak da'iyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkannya terhadap masyarakat. Padahal, besar kemungkinan mereka tidak tersentuh da'wah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.

Ikhlas, nilai plus yang menembus lintas generasi Keikhlasan yang "naif" Nabi Ibrahim yang rela -demi melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS.Ibrahim : 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.

Ummu Sulaim ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al-Qur'an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan yang penuh berkah -ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW- di malam yang sangat berlasan baginya untuk "meratapi" bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri Nabi Luth dan Nabi Nuh -yang karenanya Allah menyebutnya dengan imra-ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya)- melahirkan generasi yang sangat berbeda.

Yang satu generasi sangat rabbani seperti Nabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid : "'Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar." (QS.37:102)

Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata, saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, "Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari airbah." (QS.11:43)

Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungi anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak tergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya disana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:

"Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kuatnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata : Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan beramal shalih yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri."

ASAS PENYIKAPAN

Di tengah situasi yang terus berubah, seperti ketika dakwah merambah rimba politik, menentukan sikap merupakan salah satu pekerjaan yang rumit. Setiap situasi politik biasanya menyimpan peluang dan jebakan sekaligus. Karenanya, setiap keputusan politik pasti mengandung resiko. Para pemimpin politik diuji di sini. Karakter sebuah pergerakan akan terbentuk dan terlihat di sini.

Di sini ada beberapa nilai yang menentukan mutu sikap dan keputusan politik.

Pertama, sejauh mana sikap dan keputusan politik itu tepat dengan situasi, tempat, momentum, orang, dan insdtusinya. Jadi, bukan sekedar sikap dan keputusan yang benar, tapi sikap dan keputusan benar yang tepat! Kebenaran dan ketepatan adalah dua substansi yang menentukan mutu sebuah sikap dan keputusan politik.

Kedua, sejauh mana sikap dan keputusan polidk itu efektif bekerja mengantar kita mencapai tujuan yang ingin kita capai. Efektivitas untuk sebagiannya terkait dengan tingkat kebenaran-ketepatan sikap dan keputusan politik, tapi untuk sebagiannya terkait dengan cara apa sikap dan keputusan politik itu diekspresikan. Efektivitas terkait dengan fungsi penyikapan dan pengambilan keputusan, terkait dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh sikap dan keputusan politik tersebut.

Ketiga, sejauh mana kita dapat mempertahankan konsistensi dalam penyikapan dan pengambilan keputusan politik. Dalam situasi yang terus berubah, "durasi kebenaran" seringkali tidak bertahan lama atau kita kemudian kehilangan arah dan pegangan dasar sehingga sikap dan keputusan politik kita tidak lagi konsisten. Konsistensi yang menentukan warna dasar dari karakter kita secara kolektif; apakah warna dasar itu bernama kebenaran atau kepentingan, idealisme atau pragmatisme.

Itulah tiga nilai utama yang menentukan mutu sebuah sikap dan keputusan politik yang kita ambil: ketepatan, efektivitas, dan konsistensi. Ketiganya terkait dengan dua sisi yang senanriasa melekat pada sikap dan keputusan politik yang kita ambil. Sisi pertama terkait dengan substansi sikap dan keputusan politik yang kita ambil, yaitu tentang muatan kebenaran syar'i. Sedang sisi kedua terkait dengan proses penentuan sikap dan pengambilan keputusan politik, yaitu tentang cara yang kita tempuh, apakah sudah benar atau tidak.

Muatan dan proses

Muatan kebenaran dalam sebuah sikap dan keputusan polidk sesungguhnya ditentukan oleh referensi dan metode yang kita gunakan. Bagi kita kaum muslimin, sudah tentu kebenaran yang kita maksud adalah kebenaran syar'i. Karenanya, referensi kita dalam menentukan sikap dan mengambil keputusan politik adalah merujuk pada syariat Islam. Sedang metode yang kita pakai adalah ijtihad. Akan tetapi, ijtihad yang benar hanya dapat dilakukan jika kita menggabungkan dua pengetahuan sekaligus, pengetahuan tentang syariat Islam yang mendalam dan pada waktu yang sama, juga pengetahuan yang mendalam dan mendetil tentang realitas kehidupan politik yang kita hadapi. Yang pertama kita sebut dengan "fiqhi wahyu", yang kedua "fiqhi realitas".

Yang kita lakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan kebenaran-kebenaran wahyu Allah swt. dalam realitas kehidupan manusia.Jadi, fungsi ijtihad itu menempatkan setiap kebenaran wahyu pada realitasnya, pada dunianya yang tepat. Artinya, nilai ijtihad itu pada ketepatannya.

Namun demikian, ada satu hal yang harus kita tegaskan di sini. Yaitu, secara substansial seluruh ajaran syariat Islam berorientasi pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia. Itulah sebabnya Ibnu Taymiah mengatakan, di rnanapun ada kemaslahatan bagi manusia, disitu pasti terdapat syariat Allah. Jadi, syariat Islam mengakomodasi segala hal yang menciptakan maslahat sebanyak-banyaknya bagi manusia. Karena itu, Al-Syathiby mengatakan, inti politik Islam adalah mendatangkan maslahat sebanyak-banyaknya bagi manusia dan menolak mudharat sebanyak-banyaknya dari manusia.

Kemaslahatanlah yang kemudian menentukan sikap dan keputusan politik kita. Termasuk juga di dalarnnya menentukan semua perubahan yang terjadi dalam sikap dan keputusan politik kita. Jadi, andaikan kita mendukung seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu, lantas kemudian kita mengubah sikap dengan memintanya meninggalkan jabatan itu, semua perubahan itu dapat dipahami dari pendekatan maslahat

Jadi, asas penentuan sikap dan pengambilan keputusannya adalah "asumsi" maslahat yang terdapat dalam perkara itu, Karena sifatnya asumsi, maka sudah pasti relatif. Dan karena relatif, sangatlah mudah mengalami perubahan.

Namun demikian, asumsi yang kita gunakan dalam sebuah ijtihad adalah asumsi yang kuat (zhonn rajih} yang mempunyai dasar pada fakta-fakta, pertimbangan-pertimbangan rasional, dan idealita yang kita inginkan. Jika sebuah asumsi dibentuk dari realitas, rasionalitas, dan idealitas, kita berharap peluang kesalahannya menjadi lebih kecil. Dan, kelemahan itu dapat kita tutupi dengan niat yang ikhlas serta tawakkal kepada Allah swt.

Adapun sisi yang terkait dengan proses adalah lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Yaitu, apa yang kemudian kita sebut dengan syuro. Karena kemaslahatan itu didefenisikan melalui sejumlah asumsi dasar, dengan merujuk kepada realitas, rasionalitas, dan idealitas, sudah tentu akal kolektif lebih baik daripada akal individu. Karena itu, keputusan bersama selalu lebih baik daripada keputusan individu.

Tapi, apakah setiap syuro dengan sendirinya selalu melahirkan sikap dan keputusan politik yang bermutu? Tentu saja tidak ada jaminan. Tapi, peluangnya lebih besar. Meski begitu, masalah ini tetap perlu didalami lebih jauh.

CERMIN KEBENARAN

Begitulah susunan kejadiannya. Di awal hanya ada Allah sendiri. Lalu Ia menciptakan arsy-Nya di atas air. Setelah itu Ia menciptakan pena. Kemudian dengan pena itulah Ia menitahkan penulisan semua makhluk yang akan Ia ciptakan di alam raya ini: langit, bumi, malaikat, manusia, jin hingga surga dan neraka. Dengan pena itu juga Ia menitahkan penulisan semua kejadian — dengan urutan-urutan dan kaitan-kaitannya pada dimensi ruang dan waktu yang akan dialami makhluk-makhluk-Nya.

Tampaknya dengan sengaja Ibnu Katsir mengawali bahasan sejarahnya dalam Awal dan Akhir dengan cerita tadi. Tiba-tiba sejarah terbentang sebagai sebuah cerita penciptaan tanpa henti. Dari Allah awalnya, dan kelak kesana akhirnya. Tapi jika Allah tidak mendapatkan manfaat dari ciptaan-ciptaan-Nya, maka tidak ada yang dapat menjelaskan motif di balik cerita kehidupan itu kecuali hanya satu kata: cinta!

“Maka”, kata Ibnul Qoyyim dalam Taman Para Pencinta, “semua gerak di alam raya ini, di langit dan bumi, adalah gerak yang lahir dari kehendak dan cinta.” Dengan dan untuk itulah alam ini bergerak. Kehendak dan cintalah alasan pergerakan dan perhentiannya. Bahkan dengan dan untuk kehendak dan cinta jugalah alam ini diciptakan. Maka tak satupun makhluk di alam ini yang bergerak kecuali bahwa kehendak dan cintalah motif dan tujuannya. Sesungguhnya hakikat cinta adalah gerak jiwa sang pencinta kepada yang dicintainya. Maka cinta adalah gerak tanpa henti. Dan inilah makna kebenaran ketika Allah mengatakan: “Dan tiadalah Kami menciptakan langit dan bumi serta semua yang ada di antaranya kecuali dengan kebenaran.” (QS. Al Hijr:85)

Jadi cinta adalah makna kebenaran dalam penciptaan. Itu sebabnya, hati yang dipenuhi dengan cinta lebih mudah dan cepat menangkap kebenaran. Cinta tidak tumbuh dalam hati yang dipenuhi keangkuhan, angkara murka dan dendam. Cinta melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Cinta adalah cahaya yang memberikan kekuatan penglihatan pada mata hati kita. Begitulah cinta akhirnya membimbing tangan Abu Bakar, Al Najasyi, atau Cat Steven kepada Islam. Begitu juga akhirnya keangkuhan menyesatkan Abu Jahal, Heraklius, atau Saddam Husein. Cinta dalam jiwa, kata Iqbal, serupa penglihatan pada mata.

Pengetahuan bahkan bisa menyesatkan kalau ia tidak dibimbing oleh kelembutan tangan cinta. Itu kebutaan, kata Enstein. Sebab ia tidak melahirkan pengakuan dan kerendahan hati. Itu juga yang menjelaskan mengapa ilmu pengetahuan modern justru menjauhkan Barat dari Tuhan. Disana cinta tidak membimbing pengetahuan. Maka dengan penuh keyakinan Iqbal kemudian berkata dalam Javid Namah:

Pengetahuan bersemayam dalam pikiran,

Tempat cinta ialah hati yang sadar-jaga,

Selama pengetahuan yang tak sedikit juga mengandung cinta,

Adalah itu hanya permainan sulap si Samiri;

Pengetahuan tanpa Ruh Kudus hanya penyihiran.

CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI NASEHAT

Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat


Penulis:

“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu

kematian!” (HR. Tirmidzi)



Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian.

Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak

pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar

tak lari menyimpang.



Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu

banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang

mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga

Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa

berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa

lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana

tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.



Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang

menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik

pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan

itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari

menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian

lagi berpaling (daripadanya).”



Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata.

Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku

sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar

ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan,

kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.



Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, “Dan berikanlah

peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang

azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami,

beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami

akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”



2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa

Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka

kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang

telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah

permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.



Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras

akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun.

Padahal, sandiwara sudah berakhir.



Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat

selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya.

Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang

menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya

akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang

sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.



Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan

menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif

kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua

berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.



3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa

Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh

ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau

miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur

bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.



Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa.

Cuma tubuh kecil yang telanjang.



Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita

meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta

dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan

pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.



Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika

peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan

seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan,

bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan

pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.



4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara

Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah

khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia

ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan

antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.



Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga

yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar.

Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama

kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian

berakhir.



5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga

Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar

bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman.

Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam

tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia

tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.



Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah

Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah

kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya

mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)



Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya

untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu

yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang

menghargai arti kehidupan.



------------------------------





INGAT MATI, HIDUP BERARTI



Penulis:

Hidup dan kematian seolah dua lembah yang saling berpisah. Satu sama

lain seperti tak berhubungan. Sebagian orang pun mengatakan,

bersenang-senanglah di lembah yang satu. Dan, jangan pedulikan lembah

lainnya. Padahal, hidup dan kematian tak ubahnya seperti dua pintu dalam

satu ruang. Orang tak akan paham makna hidup, sebelum ia merasai

bagaimana kematian.



Tak ada sebuah hadiah yang begitu berarti buat seorang mukmin sepanjang

hidupnya melebihi kematian. Itulah hadiah Allah yang hanya mampu

diterjemahkan oleh mereka yang begitu rindu dengan Kekasihnya yang

sejati. Dunia, seberapa pun indahnya, tak lebih dari penjara yang

membelenggu diri dalam ketidaknyamanan dan keterpaksaan.



Seperti itulah ungkapan Rasulullah saw dalam sebuah hadits riwayat Ibnu

Abid Dunya, Thabarani dan Hakim. “Hadiah yang pelik untuk seorang mukmin

ialah kematian.”



Itulah kematian. Ia bagaikan garis pemisah antara panggung kepura-puraan

dengan kehidupan yang sebenarnya. Garis yang memisahkan aneka lakon dan

peran dengan sosok asli seorang manusia. Garis yang akhirnya menyatakan

kesudahan segala peran dan dikembalikannya segala alat permainan.



Sayangnya, tak sedikit manusia yang lebih cinta dengan dunia pura-pura.

Mereka pun berkhayal, andai kepura-puraan bisa buat selamanya. Bisa

berpuas diri dengan aneka lakon dan peran. Tanpa disadari, kecintaan itu

pun berujung pada kebencian. Benci pada kematian.



Seperti itulah tabiat anak kecil yang begitu asyik dengan main-mainnya.

Mereka lupa kalau sore sudah hampir lewat, dan malam pun akan menjelang.

Bahkan, mereka pun lari ketika diminta mandi. Padahal, mandi menjadikan

tubuhnya terasa nyaman berteman malam. Dan kemana pun sang anak lari,

mereka tak akan mampu bersembunyi dari kemestian malam.



Allah swt menggambarkan orang-orang yang lari dari kematian. Seperti

dalam firmanNya di surah Al-Jumu’ah ayat 8, “Katakanlah: kematian yang

kamu lari daripadanya itu sesungguhnya akan menemui kamu, kemudian kamu

akan dikembalikan kepada Tuhan Maha Tahu hal yang tersembunyi dan yang

terang, lalu diberitakanNya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”



Ketakutan adalah alasan yang paling lumrah buat mereka yang tetap lari

dari kematian. Banyak alasan kenapa harus takut. Pertama, mereka takut

berpisah dengan kehidupan. Bagi mereka, perpisahan ini berarti usai

sudah pesta kenikmatan. Karena kehidupan sudah terlanjur mereka

terjemahkan sebagai kenikmatan. Hanya kenikmatan.



Kedua, ada ungkapan batin yang tidak mereka sadari. Bahwa, mereka enggan

berjumpa dengan Allah. Sebagaimana, mereka selalu menghindar dari

perjumpaan dengan Allah dalam ibadah yang mereka lakukan. Keengganan itu

sebenarnya bukan cuma milik mereka. Karena Allah pun enggan bertemu

mereka, sebagaimana mereka enggan bertemu Allah.



Rasulullah saw menjelaskan hal itu dalam hadits riwayat Bukhari dan

Muslim. “Barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga

benci bertemu dengan orang itu.”



Keengganan itu sangat bertolak belakang dengan kerinduan yang

diungkapkan seorang sahabat Rasul, Hudzaifah. Ketika tak lama lagi ajal

kematian menyambang, beliau r.a. berujar, “….Ya Allah, jika Engkau

mengetahui bahwa kemiskinan itu lebih baik bagiku daripada kekayaan,

sakit itu lebih baik daripada kesehatan, dan mati itu lebih membuatku

bahagia daripada hidup, maka permudahkanlah kematian itu untukku.

Sehingga aku dapat bertemu dengan-Mu.”



Ketiga, boleh jadi ketakutan terhadap kematian lebih karena

ketidaktahuan. Persis seperti anak kecil yang lari ketika diminta mandi.

Karena yang diketahui anak tentang mandi tak lebih dari dingin, dipaksa

ibu, dan berhenti dari permainan. Begitu pun tentang kematian. Kematian

bagi mereka tak lebih dari rasa sakit, berpisah dengan keluarga, harta

dan jabatan; serta rasa kehinaan ketika jasad terkubur dalam tanah.



Di situlah perbedaan mendasar antara hamba Allah yang baik dengan yang

buruk. Abdullah bin Umar pernah mendapat pelajaran tentang kematian dari

Rasulullah saw. “Aku mendatangi Nabi saw sebagai orang yang kesepuluh

dari sepuluh yang mendatangi Rasul. Kemudian, ada seorang dari kaum

Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai dan mulia, ya

Rasulullah?’ Beliau saw menjawab, ‘Yaitu, orang yang terbanyak ingatnya

kepada kematian, dan yang paling siap menghadapi kematian. Itulah

orang-orang yang akan pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” (HR.

Ibnu Majah)



Bagi hamba Allah, tak ada kemuliaan apa pun dari tetap menjaga

ingatannya dengan kematian. Bahkan, seorang yang berada pada puncak

kekuasaan sekalipun. Setidaknya, itulah yang hendak diungkapkan seorang

Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hampir sepanjang usia kekuasaannya, tak

pernah ia lewatkan satu malam pun untuk mengingat kematian. Caranya

begitu manis. Ia panggil para pakar fikih, lalu satu sama lain saling

mengingatkan tentang kematian, hari kiamat, dan kehidupan akhirat.

Kemudian, semuanya pun menangis. Seakan-akan, di samping mereka ada

jenazah yang sedang ditangisi.



Itulah mungkin, kenapa Khalifah yang punya kekuasaan luas ini menjadi

sosok yang terpuji. Semasa kekuasaannya, hampir tak satu pun rakyatnya

yang mengeluh. Mereka hidup sejahtera. Dan inilah sebuah bukti, betapa

hidup Umar bin Abdul Aziz begitu berarti ketika kematian menjadi

pengingat sejati.



Jadi, kehidupan dan kematian tak lagi menjadi dua lembah yang saling

terpisah. Kematian mengingatkan kehidupan agar tetap menjadi sesuatu

yang berarti. Bahkan, teramat berarti. Dan kehidupan mengingatkan

kematian sehingga menjadi sesuatu yang dinanti. Kematian mendidik

kehidupan, dan kehidupan merindukan kematian.

IZINKAN KAMI MENATA ULANG TAMAN INDONESIA

"Sejarah adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal."
(Malik Bin Nabi, Ta`ammulat; 35)

Ledakan Energi Peradaban

Empat syuhada berangkat pada suatu malam, gerimis air mata tertahan di hari keesokan, telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan, Mereka anak muda pengembara tiada sendiri,
mengukir reformasi karena jemu deformasi, dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru,

Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh satu.

Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri,

Merah Putih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama bersembunyi.
Tapi peluru logam telah kami patahkan alam doa bersama,
dan kalian pahlawan bersih dari dendam, karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan.
(Taufik Ismail, 1998)

Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul 12 Mei 1998 mengabadikan kepahlawanan empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim Orde Baru; Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidin Royan. Mereka adalah sebagian dari pelaku baru sejarah Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya generasi baru, generasi 1998.

Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian ditengah ketakutan, mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darahnya dengan tulus sebagai mahar untuk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.

Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika generasi 98 berhasil menumbangkan Orde Baru, maka generasi 66 berhasil mengakhiri Orde Lama. Dalam (puisi) "Sebuah Jaket Berlumur Darah" Taufik Ismail melukiskan suasana kepahlawanan itu:

Sebuah jaket berlumur darah
kami semua sudah menatapmu
telah berbagi duka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun.

Begitu kita menyusuri sejarah bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan generasi 45 yang mempelopori perjuangan kemerdekaan. Dan lebih jauh ke belakang, ada generasi 28 yang mempelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Lebih jauh lagi, kita akan bertemu dengan generasi 1900-an yang mempelopori kebangkitan nasional. Semua angkatan itu lahir silih berganti sampai datang angkatan 1998. Dan mereka lahir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa kita. Mereka selalu muncul sebagai pelopor, menghentikan kesunyian sejarah dan mengobarkan api kehidupan.

Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Tapi itu bukan hanya milik Indonesia. Tanggal 23 Oktober 1956 Revolusi Hongaria meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet dan pemerintahan boneka. Para pemuda dan mahasiswa bahkan mempelopori perlawanan terhadap negara adi kuasa itu di seantero kawasan Eropa Timur.

Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an; gerakan mahasiswa di Perancis meledakkan Krisis 22 Mei 1968, mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator Jendral Franco pada 1965. Hal yang sama juga terjadi di Italia, Belgia dan negara Eropa lainnya.

Di dunia Islam, baik di kawasan Asia dan Afrika, para mahasiswa dan pemuda bangkit mempelopori perlawanan terhadap para penjajah di sepanjang paruh pertama abad 20 sampai tahun 70-an. Para pemudalah yang terlibat dalam Revolusi Aljazair 1954 yang mengenyahkan Prancis dari tanah itu. Para pemuda dan mahasiwa juga berhasil mengusir Inggris dari Mesir. Dan sekarang, sejak 1987 hingga sekarang, anak-anak muda bahkan yang masih bocah, telah meletuskan Intifadhah melawan penjajah Israel di Palestina.

Anak-anak muda melemparkan batu melawan serdadu Israel yang bersenjata lengkap sambil menyenandungkan syair Hasyim Al-Rifa'i:

Itulah syurga yang menuntut harga
Hanya dari urat nadi para syuhada
Anak-anak muda selamanya adalah energi peradaban yang mengalirkan sungai sejarah. Setiap kali energi itu meledak, maka sejarah segera mencatat peristiwa-peristiwa dan langit menjadi saksi. Sebuah lembaran kehidupan baru dari buku sejarah manusia telah dibuka. Dan sejarah, kata Malik Bin Nabi, adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki dan ketajaman akal.

Anak-anak yang Gelisah

Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajah serta merebut kemerdekaan. Tapi setelah merdeka mereka bangkit melawan penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan politik.

Adalah bagian dari keunikan abad ini, Allah swt menakdirkan para penguasa tiran dan diktator lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Ketika tirani Soekarno merajalela di Indonesia, maka di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada Nasser. Ketika kediktatoran Soeharto membungkam rakyat Indonesia, maka di Libya ada Khadafi, di Irak ada Saddam, di Syiria ada Asad, dan di Iran ada Pahlevi. DI abad ini pula lahir Hitler, Stalin dan Mossoulini. Jangan lupa, di abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang akbar, Dunia I dan II, pada 1914 dan 1942.

Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban. Dan energi itu lahir dari kegelisahan. Tapi dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung di alam kenyataan. Maka setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, atau suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan, atau kebebasan ditindas oleh kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencaut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah. Tapi anak muda macam manakah mereka? "Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka." (QS. Al-Kahfi:13)

Demikianlah. Kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari rahim sejarah. Kegelisahan memberi energi. Dan energi itu tumpah ruah dalam semangat perlawanan dan pembelaan. Maka, ada peristiwa ada sejarah. Tapi ada satu fenomena yang jarang kita perhatikan dalam langkah sejarah, bahwa gerakan-gerakan pemuda seringkali dimatikan oleh orang-orang yang mencetuskannya pertama kali. Lihat Soekarno dan Soeharto.

Saatnya Kaum Muda Bangit Kembali

Kini, kita tengah berada di persimpangan sejarah. Generasi 98 telah menjalankan tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan mengatar sejumlah elit politik baru ke panggung sejarah Indonesia. Tapi tugas belum betul-betul tuntas. Tahun ini kita memperingati Sumpah Pemuda dengan kenyamanan yang terampas, sebab ada kegeliasahan baru, sebab ada idelisme yang terpasung di alam kenyataan, sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik.

Masa transisi yang tengah kita alami ini boleh jadi merupakan awal dari bencana besar yang mungkin akan menimpa bangsa kita di masa depan. Sebab `humor-humor' pemimpin kita ?Abdurahman Wahid? ternyata gagal membuat bangsa ini menjadi cepat tersenyum. Apalagi tertawa. `Humor-humor' itu untuk sebagiannya, bahkan terasa mengerikan. Seperti ketika arogansi berhadap-hadapan dengan kenyataan bahwa negara kita sedang menghampiri kebangkrutannya, seperti ketika semangat memberantas KKN berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas kemiskinan masa lalu. Seperti ketika demokrasi dan keterbukaan serta dialog berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas marginlisasi politik masa lalu.
Pemerintahan Abdurahman Wahid sekarang, menurut saya, tidak akan mungkin bisa menegakkan hukum dengan baik. Karena; pertama, dia membawa dendam masa lalu, baik dendam atas kemiskinan atau dendam atas marginalisasi politik di masa lalu. Itu tidak mungkin, dan lebih parah lagi dia memang tidak mau. Kita tidak bisa berharap dari pemimpin yang `nervous' di depan kekuasaan dan uang.
Ada masalah dalam bangsa kita, pertama dalam hal konsistensi yakni masalah penyimpangan di ujung jalan atau di tengah jalan. Pemimpin yang diasumsikan lurus ternyata membuyarkan seluruh harapan masyarakat. Itu juga yang mungkin terjadi sekarang. Mereka yang meretas jalan, tapi mereka pula yang merubuhkan panggungnya sendiri. Begitu seterusnya. Maka sudah saatnya kita berfikir bahwa kita yang meretas jalan, kita juga yang akan mengisi panggung itu seterusnya.

Kedua, rakyat ini tidak punya firasat. Ketika kita mencalonkan seorang, atau setidak-tidaknya menitipkan harapan pada seorang calon pemimpin, kita tidak mempunyai firasat tentang orang itu, bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan sebagian dari persoalan selama ini. Jadi terlepas dari perhitungan-perhitungan politik, pada dasarnya semua akan tergantung pada firasat kita terhadap seseorang. Dan kalau rakyat tidak mempunyai firasat tentang orang yang dicalonkannya, itu berarti mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Dan ini berhubungan dengan hadits Nabi, "Kalau Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terbaik dari kaum itu sebagai pemimpin mereka, dan kalau Allah membenci suatu kaum maka Dia akan mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum itu."
Kita, anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus segera kembali mengkonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini, dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini:

Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Dan pertahankan keutuhan Indonesia.
Mungkin memang harus begini kejadiannya. Bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan-jalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk terus mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pada mulanya tampak seperti kabut yang menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Itu yang membuat banyak orang ragu-ragu untuk melakukannya. Tetapi apabila masyarakat sudah mulai resah akibat lilitan berbagai macam problema, percayalah bahwa keresahan itu adalah awal dari ledakan energi peradaban.

Dulu Rasulullah bersabda: "Para pemuda bersekutu denganku dan orang-orang tua memusuhiku." Seperti sepotong sajak Taufik Ismail (1998) kepada mereka:
Seluruh jajaran aparat kenegaraan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke pinggir secara menyeluruh.
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih.
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih.

BISNIS KEHORMATAN

Menegakkan wajah dan mempertahankan kehormatan pribadi di atas kemiskinan yang panjang, bukanlah perkara gampang. Tapi bertahan dalam kemiskinan yang panjang, di tengah gemerlap dunia materi, dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas ilmiah yang tinggi, tentu saja jauh lebih sulit.

Tapi itulah inti semua tantangan yang dihadapi para ulama pewaris nabi. Itu akan menjadi lebih rumit bila mereka hidup pada suatu masa di mana para penguasa bersikap anti ulama, meremehkan peranan ilmu pengetahuan, dan suka merendahkan ulama.

Kemiskinan adalah pilihan hidup mereka, tapi kehormatan adalah tameng mereka. Masalahnya adalah bahwa sebagian dari kehormatan itu harus dipertahankan dengan materi atau harta. Harta itu sendiri tidak secara langsung berhubungan dengan produktivitas dalam dunia mereka. Tapi itl:Jlah masalahnya: harta, kata Rasulullah SAW, adalah sumber kebanggaan manusia dalam hidup. Maka perintah menjadi kaya beralas disini: agar kita juga memiliki kebanggaan itu, agar kita dihormati dalam pergaulan masyarakat.

Bisnis adalah jalannya. Itu sebabnya kita menemukan para ulama besar yang juga pebisnis. Abu Hanifah, misalnya, adalah pengusaha garmen. Beliau bahkan membiayai hidup sebagian besar murid-muridnya. Itu membuat beliau terhormat di mata para penguasa, relatif untouchebJe.

Tapi itu juga memberikan beliau kedalaman dalam fiqih, khususnya dalam bidang muamalat. Beberapa literatur awal dalam masalah keuangan negara kemudian lahir dari tangan murid beliau. Misalnya, Kitab AJ-Kharaj yang ditulis Abu Yusuf. Untuk sebagiannya, pemikiran ekonomi Islam pada mulanya diwarisi dari fiqih Abu Hanifah.

Walaupun begitu, popularitas mereka tidak datang dari kekayaan mereka yang melimpah ruah. Sebab bisnis tidak boleh mengganggu 'bisnis' mereka yang lain. Sebab mereka hanya ingin menjadi orang bebas dengan bisnis itu. Sebab mereka hanya ingin mempertahankan kehormatan mereka dengan bisnis itu.

Itu berarti bahwa mereka harus mampu mengelola bisnis paruh waktu dengan sukses. Dan begitulah kejadiannya. Suatu saat Abdullah Ibnul Mubarak, maha guru para ahli zuhud, ulama dan perawi hadits yang tsiqoh, jago panah dan petarung sejati, ditanya tentang mengapa beliau masih berbisnis. Beliau yang terlibat dalam sebagian besar pertempuran di masa hidupnya, menulis beberapa buku monumental seperti Kitab AI-Zuhd, memang dikenal sebagai seorang pebisnis yang sukses. Beliau hanya mengatakan dengan enteng:

"Aku berbisnis untuk menjaga kehormatan para ulama agar mereka tidak terbeli oleh para penguasa."

DIBALIK KEHARUMAN

Dibalik Keharuman
Posted by: admin on Monday, April 12, 2004 - 12:00 AM



Nama para pahlawan mukmin sejati senantiasa harum sepanjang sejarah. Tapi hanya sedikit orang yang mengetahui betapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu.

Masyarakat manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu, bahkan terkadang sampai pada tingkat pendewaan. Kedua, mereka akan merasa kasihan kepada para pahlawan tersebut karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Yang kedua ini biasanya datang dari keluarga dekat sang pahlawan.

Apa yang dirasakan orang luar berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sang pahlawan itu sendiri. Kekaguman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Tapi yang membayar harga keharuman yang dikagumi itu adalah para pahlawan. Dan harga itu tidah diketahui orang banyak. Maka seorang penyair arab terbesar, Al-Mutanabbi mengatakan: “Orang luar mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin dicipatakan oleh kedermawanan, orang luar mengagumi keberanian sang pahlawan tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarnya menuju kematian.

Tapi ada kenyataan lain yang sama sekali terbalik. Keluarga para pahlawan seringkali tidak merasakan gaung kebesaran atau semerbak harum nama sang pahlawan. Karena ia hidup ditengah tengah mereka, setiap hari bahkan setiap saat. Bagi mereka, sang pahlawan adalah juga manusia biasa, yang mempunyai keinginan-keinginan dan kegemaran-kegemaran tertentu seperti mereka. Dan mereka harus menikmatinya. Maka merekalah yang sering menggoda pahlawan untuk tidak melulu “mendaki” langit, tapi juga sekali-kali “turun” kebumi.

Dan kedua sikap tersebut adalah jebakan. Kekaguman dan pendewaan sering menjebak para pahlawan, karena itu akan mempercepat munculnya rasa uas dalam dirinya. Sehingga karya yang sebenarnya belum sampai ke puncak, akhirnya terhenti di pertengahan jalan akibat rasa puas. Itulah sebabnya Imam Ghozali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah berilmu, maka sesungguhnya orang itulah yang paling bodoh.”

Panggilan turun kebumi adalah jebakan lain. Menjadi pahlawan memang akan menyebabkan kita meninggalkan sangat banyak kegemaran dan kenikmatan hidup. Bahkan privasi kita akan sangat terganggu. Tapi itulah pajaknya. Namun banyak orang gagal melanjutkan perjalanan menuju puncak kepahlawanan karena tergoda untuk “kembali” kehabitat manusia biasa. Seperti angin sepoi yang mengirim kantuk kepada orang yang sedang membaca , seperti itulah panggilan turum kebumi penggoda sang pahlawan untuk berhenti mendaki. Itulah sebabnya Allah menegur para mujahidin yang mencintai keluarga mereka melebihi cinta mereka terhadap Allah, rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya.

Maka para pahlawan mukmin sejati berdiri tegak di sana; diantara tipuan pendewaan dan godaan kenikmatan bumi. Mereka terus berjalan dengan mantap menuju puncak kepahlawanan : tidak ada kepuasan sampai karya jadi tuntas, dan tidak ada kenikmatan melebihi apa yang mungkin diciptakan oleh kelelahan.